Gludugludug...ssssrrrrrrrrr........aarrgggggghhhhhh......
Gubrak gabruk gubrak gabruk....prang preng prong...hosh hosh hosh... (¬_¬”)
Mungkin ungkapan diatas bisa menggambarkan suara hati korban remuk hati patah tulang yang umumnya dialami kaum adam dan hawa seperti halnya juga saya J
Adakah diantara kita yang tidak pernah merasakan sindrom cekit-cekit hati, linu hati, lunglai hati dan penyakit-penyakit kehati-hatian lainnya?
Eitsss,,,saya tidak hanya menghubungkan “sindrome” hati ini dengan relasi antara heart to heart pada adam dan hawa. Bukankah sindrome sakit hati bisa timbul dari setiap orang baik wanita maupun pria, baik muda maupun tua, baik kekasih maupun relasi, baik sahabat maupun mantan kerabat, baik keluarga maupun kolega?! Yeppp...dari lingkup tersebut maka bisa saja pertanyaan saya diatas jawabannya ialah semua orang pernah merasakannya. Ini adalah alasan pertama saya menulis cerita ini yang entah mau dikatakan cerpen, curpen (curhat pendek), romansa, fabel, mite, dongeng atau apalah yang anda ingin legitimasikan pada cerita saya ini.
Alasan kedua yang menggugah saya untuk menulis cerita ini karena awalnya saya prihatin pada diri saya sendiri yang kemudian berkembang menjadi rasa empati bagi para victims of broken heart. Hem..keprihatinan itu terletak pada rasa kasihan saya terhadap si hati, si mata, si hidung dan kawan-kawannya yang menjadi korban dan efek ketidak-adilan manusia-manusia yang berkehendak atas tekanan id-nya yang terkadang menoreh luka, baret atau codet di hati manusia lainnya.
Beruntung jika kekerasan perasaan itu berujung pada air yang mengalir dari mata, lendir yang mengucur dari hidung, dan tetesan darah yang menampakkan wujud yang entah berasal dari tubuh bagian mana karena kesengajaan korban untuk mengusap-usap benda tumpul maupun tajam. Namun yang lebih membuat saya miris jika kekerasaan perasaan itu berujung dengan borok yang terus berkembang biak dalam tubuh manusia bagian dalam yang kasat mata, entah dimana tepatnya berada dan konon biasa panggil dendam.
Heloooo....sekali manusia marah saja ribuan syaraf di kepala putus, apalagi menyimpan marah terselubung yang perannya sebagai serigala berbulu domba. Ohhhh....sungguh saya saya tidak dapat membayangkan besarnya kerugian yang dialami hanya karena si dendam L
Heloooo....sekali manusia marah saja ribuan syaraf di kepala putus, apalagi menyimpan marah terselubung yang perannya sebagai serigala berbulu domba. Ohhhh....sungguh saya saya tidak dapat membayangkan besarnya kerugian yang dialami hanya karena si dendam L
Okay, itu adalah dua alasan yang menurut saya real disamping alasan personal saya yang memotivasi untuk menulis cerita ini dan salah satunya adalah pesan seorang sahabat saya yang menyemangati saya ketika saya jatuh menjadi salah satu korban kekerasan perasaan dan hingga kini pesan itu masih ada dalam long term memory saya J
Saya terus menggali dan bereksperimen mencari obat mujarab untuk mengobati atau minimal meminimalisir para korban kekerasan perasaan merasakan efek-efek ketidakadilan tersebut. Obat yang umum beredar di pasaran adalah pesan atau semangat moral dari orang-orang terdekat untuk para korban perasaan tersebut padahal orang-orang penyemangat itu bisa saja pernah atau bahkan berpotensi untuk melakukan hal yang sama kepada si korban, yaitu “menyakiti perasaan”.
Lagi..lagi..dan lagi persoalan manusia yang tidak dapat selalu dijawab manusia dengan alasan kemanusiaannya selalu pada akhirnya diserahkan pada Tuhannya. Begitu pula dengan saya, yang pada akhirnya menuju pada suatu obat dengan bahan dasar keimanan pada Tuhan. Obat yang saya maksudkan sudah tidak asing lagi yaitu IKHLAS. Obat yang awalnya tidak pernah bisa saya terima dengan nalar dan logika saya. Obat yang selalu saya ignore dengan dalih: “Yang namanya melukai perasaan itu adalah tindakan kriminal terselubung dan kasat mata, hanya efeknya yang visible. Maka pelakunya harus juga merasakan hal yang serupa, yaitu ‘sakit hati’ juga.”
Dari awal saya diperkenalkan dengan kata ‘ikhlas’, yang alih-alih sering dijadikan obat oleh sebagian orang. Hingga detik ini pun, saya terus mencari makna ikhlas itu karena saya tidak mau menenggak obat yang komposisinya saja tidak saya tahu, dan saya akan suka menyebutnya dengan faithful critically (kata-kata yang baru saya dapat dari salah satu mata kuliah saya) J. Sejauh ini ikhlas itu bisa menjadi sedikit penyembuh borok-borok dalam hati saya dan mungkin borok yang akan muncul sewaktu-waktu (tapi saya tidak berharap).
Saya memaknai ikhlas dengan setiap sakit hati yang saya dapat adalah bahwa itu sentilan atas kecemburuan Tuhan terhadap sikap saya. Kecemburuan itu tidak lain karena perasaan diduakan dan diabaikan dengan manusia lainnya padahal Dialah yang telah menciptakan saya dan menciptakan manusia lainnya yang membuatnya cemburu. Kelalaian saya, keteledoran saya dan penyepelean saya atas perintah-Nya dan larangan-Nya. Sampai pada akhirnya saya sungguh takjub akan ketangguhan dan kesabaran pencipta saya. Bayangkan, jutaan mahkluk ciptaannya yang hampir setiap hari bahkan detik ada saja yang melukai perasaan-Nya karena membuat-Nya cemburu. Jelaslah jika Tuhan menegur manusia-Nya dengan memberi rasa yang sama dengan yang Ia rasakan agar membuat manusia sadar dan menjadi lebih baik. Prinsipnya adalah ‘yang baik tidak selalu enak’ dan ‘sayang tidak selalu dengan kelembutan’ hahaha..
Semoga dengan sedikit cerita sekaligus unek-unek saya ini bisa memberikan inspirasi bagi anda yang masih larut menjadi korban perasaan dan kesakit hatian. Wassalam. J
*nb: jangan pertanyakan judul dan content cerita yang tidak sinkron karena saya menganut prinsip “don’t judge a book by its cover” J